Jumat, 27 September 2013

Bersama Hujan

Ada resonansi yang dihadirkan hujan dalam kepalaku. Lewat rintik anggun, otak ku menyeret segala kenangan yang terjadi di bawahnya. Ada tangis, tawa kecil, serta rindu yang hadir bersamanya. Ada kenangan yang menggeliat ke permukaan saat aku harus berteduh pada satu titik dimana kenangan tersebut pernah tercipta. Ada reka ulang yang jelas dan tanpa jeda bermain dalam otakku. Kemudian diikuti senyum yang sedikit mengembang bersama aliran air yang ternyata bukan hujan; melainkan air yang dikirim hatiku melalui sudut mataku.

Entah bagaimana sistem dalam kepalaku bergerak mengalunkan memoribianya sore itu. Yang ku tahu isi kepalaku sedang menghujam jantungku berkali-kali, menghantamnya dengan kepalan kenangan. Pada hujan dan wangi khasnya, aku mencium keberadaan kenangan. Pada setiap sela pada rintiknya, ada doa yang ku lambungkan tinggi-tinggi ke udara, yang pecah diterjang deras hujan sebelum sempat semesta mengamini. Wahai kamu yang mencipta kenangan ini, bolehkah aku menyampaikan apa yang disampaikan hujan padaku? Aku melihat tanya pada setiap rintiknya, merasakan teguran pada basah yang mengenai pakaian dan ragaku. Hujan sedang menyaksikan, ada yang tidak biasa dalam aku dan (atau) kamu.

Senin, 16 September 2013

Galau skripsi itu biasa bukan?

Rasanya "Hopeless". Dua minggu lebih tidak ada progress dan kemajuan berarti bagi skripsi saya. Bagaimana tidak, hampir setiap hari sejak sebulan yang lalu saya bimbingan dengan pembimbing 2 tapi ternyata tetap tidak bisa mengejar target yang ingin dicapai. Hari ini bimbingan, esoknya saya kembali menghadap dengan hasil revisi, dan begitu seterusnya. Hal berbeda terjadi saat sampai di pembimbing 1, saya melambat. Banyak tugas yang mesti beliau kerjakan, banyak keperluan yang mesti beliau selesaikan, sehingga berminggu-minggu desain skripsi saya tetap tertata rapi dan bersih di atas meja beliau. Saya tak berani cerewet mempertanyakan bagaimana skripsi saya itu, karena terus terang saya sangat segan kepada beliau. Tapi saya sadar, jika terus begitu akan bagaimana nasib skripsi saya ini. Saya mencoba mengumpulkan keberanian untuk meminta bimbingan tatap muka kepada beliau, saya merajuk dengan sejuta kalimat "Allahuma yassir wa la tu'assir" dalam hati saya.

Alhamdulillah akhirnya saya dapat bimbingan bertatap muka dengan beliau. Tapi semua pertanyaan yang beliau ajukan berasa menyudutkan saya dan menghentak semangat yang tadinya menggebu. Kemungkinan skripsi saya harus dirombak betul, mungkin sebagian besar atau mungkin dari nol. Saya rasa kami tak memiliki pemahaman yang sama atas maksud skripsi saya. Maksud saya begini, tapi maksud beliau begitu, dan terus terang saya tidak dapat menjangkau pemikiran beliau. Saya tidak pandai dalam memahami penjelasan beliau. Dan sampai di titik ini, saya merasakan kontra yang terjadi antara pemahaman beliau dan pembimbing 2. Saya semakin diam, saya tak tahu harus melangkah kearah mana. Mungkin terkesan lebay untuk merasa "down" karena ini, tapi justru begini adanya yang saya rasakan.

Hari ini, 16 September 2013. Sebelas hari menuju Seminar 1, tapi saya merasa bahwa selama ini saya hanya diam, tak melakukan apa-apa. Ada yang menitik dari sudut mata ketika saya sadar kemungkinannya saya tidak dapat memenuhi permintaan papa untuk wisuda di akhir tahun ini. Saya harus mengganti bayangan gurat senyum papa saat saya bisa melakukannya dengan baik, dengan gurat senyum yang (mungkin) sedikit berbeda. Tak apa kan, Pa? :')

Jumat, 23 Agustus 2013

Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci angin

"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.

Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang.

Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana."
- Tere Liye

Sabtu, 20 Juli 2013

Tugas Akhir yang Alhamdulillah :')

Nilai Tugas Akhir sudah keluar :D
Woho..! lega rasanya.. apalagi ternyata Tugas Akhir yang saya kerjakan selama 5 bulan itu membuahkan hasil yang teramat memuaskan. Alhamdulillah, bersyukur jerih payah saya itu dihargai dengan angka IP 3,8.
Saya pikir ini sebanding dengan usaha dan kerja keras saya membuat macaron :D
Ya!
"Macaron dengan Variasi Filling dan Topping sebagai Dessert Pesta Ulang Tahun Remaja"
Begitu judul yang saya angkat berdasarkan saran serta arahan dari dosen pembimbing saya Hj. Rita Patriasih, S.Pd, M.Si.
Beliau dospem yang baik sekali, beliau kooperatif, beliau sering kali mengingatkan saya untuk bimbingan, memberikan masukan-masukan yang brilliant, mengevaluasi dengan baik setiap kesalahan yang saya buat. Menyenangkan :')
Saya termasuk mahasiswi dengan jumlah bimbingan terbanyak sepanjang masa sepertinya. hahaaa..
Tapi berkatnya, Tugas Akhir saya ini bisa dikatakan menjadi yang terbaik di antara rekan saya sekalian. Hebat 'kan kontribusi beliau? terimakasiiihhhhhhh :D
Terimakasih bersedia menjadi Dosen Pembimbing saya, terimakasih telah mengembangkan potensi saya, dan terimakasih untuk selalu meyakinkan bahwa saya mampu, ketika saya hampir menyerah karena tidak bisa membuat macaron yang baik dan berkualitas..
Ujicoba berpuluh-puluh kali ternyata bukan hal buruk, malah menjadi bumbu pahit manisnya Tugas Akhir saya.. hahahaa.. karena hasilnya manis, sangat manisss :')
Semoga terulang kembali kesuksesan ini buat skripsi nanti yaaaa.. aamiin.

Tugas Akhir-ku :)

Jumat, 07 Juni 2013

Aku Rindu ~

Ada tangis yang pecah pada sepertiga malam terakhirku tadi malam. Rindu yang mengguncah dan memoribia yang menghujam sebabnya. Ada rasa bersalah menyeruak saat kedua tangan menengadah pada-Nya. Aku merindukannya. Aku ingin memeluknya, seperti dulu.

Beliau, seorang wanita yang aku kagumi sosoknya. Wanita Hebat. Mandiri. Bijaksana. Berani. Beliau wanita yang mampu berdiri sendiri ketika sosok kepala keluarga yang seharusnya melindungi berada jauh disana, mengemban tugas negara. Beliau mengayomi anak-anaknya dengan baik, penuh kasih sayang, dan penuh bela. Beliau wanita yang mampu menjadi inspirasi wanita lainnya. Membuka kursus menjahit, kursus membuat kue, dan menjadi kader yang kompeten. Hidupnya tak pernah berleha, beliau hebat menjadi wanita seutuhnya.

Beliau orang pertama yang mengajariku membuat gaun-gaun barbie yang cantik.
Beliau orang yang selalu menceritakan dongeng padaku sedari aku kecil hingga beranjak remaja. Hingga aku merasa dongeng-dongengnya tidak lagi lucu. Dongeng yang beliau ulang berkali-kali. Dongeng yang sudah ku ketahui endingnya.
Beliau orang yang mengajariku membuat kue-kue untuk lebaran sejak aku duduk di bangku SD. Tak pernah beliau memarahiku, beliau hanya tersenyum ketika melihat bentuk yang ku hasilkan tidak bagus. Beliau tetap melatihku dengan sabar.
Beliau orang yang membuatkanku mie rebus yang paling enak rasanya. Menghentikan tangisku seketika saat malam itu ditinggal mama agar aku menemani beliau malam itu.
Beliau yang selagi ku kecil selalu memberiku upah jika aku memijat kaki beliau. Meskipun pijatanku sama sekali tak membuatnya mendingan, mungkin.

Hingga aku beranjak dewasa. Aku tahu begitu bangganya ia padaku. Ia menceritakan aku yang "hebat" dimatanya pada orang-orang. Lantas itu membuatku malu, karena aku tak sehebat yang ia ceritakan.
Aku ingat. Saat ia memaksa mama untuk mengunjungiku di posko ketika aku sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun lalu, di Karangpawitan, Garut tepatnya. Ia datang mengunjungiku meski dengan fisik yang tak lagi bugar. Ia tak dapat berjalan dengan baik, karena kakinya sudah sulit menopangnya berdiri. Raut wajahnya menggambarkan kegembiraan yang luar biasa. Dengan hangat, beliau berbagi cerita bersama teman-temanku disana.
Aku rindu beliau yang selalu meminta fotoku untuk beliau pajang di kamarnya, namun tak juga aku penuhi. Hingga akhirnya mama memberikan fotoku bersama teman-teman KKN ku yang kemudian beliau pajang rapi di atas lemari beliau.

Beliau yang selalu mendoakan kesuksesanku, mendoakan ku supaya mendapat seorang pendamping yang shaleh, meninggalkanku sore itu. Padahal belum sempat aku mencium tangan beliau. Ada banyak cerita yang belum aku bagi dengan beliau.

Ya Allah, mengapa aku harus mengikuti rasa malasku untuk keluar rumah? Mengapa aku tidak mengunjunginya padahal aku tak beraktivitas beberapa hari itu? Mengapa orang lain yang ada disana saat itu, bukan aku? Sungguh aku menyesal.

"Bukankah Nenek ingin melihat teteh sukses? Tidakkah Nenek ingin menyaksikan teteh memakai toga dengan predikat 'cumlaude' nanti? Tidakkah Nenek ingin melihat teteh mendapatkan seorang pendamping yang shaleh seperti yang Nenek harapkan?
Teteh belum melakukannya, Nek. Teteh belum mewujudkannya, sama sekali.
Teteh masih menjadi anak yang manja dan menyusahkan orang tua. Teteh masih kesulitan memulai skripsi. Teteh masih belum bertemu dengan seseorang seperti yang Nenek harapkan untuk menjadi pendamping teteh kelak.
Teteh mohon maaf, Nek. Ternyata Allah begitu menyayangimu. Akan teteh tunjukan nanti. Teteh akan buat Nenek tersenyum dari surga sana. Teteh sayang Nenek. Teteh ingin menjadi wanita hebat seperti Nenek. Biar sekarang teteh yang jaga mama. Nenek beristirahatlah disana, dalam damai."
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un..



~ I LOVE YOU, FOR ALWAYS ~

Senin, 20 Mei 2013

UNTITLED



Perkenalkan, namanya Restu. Kebiasaannya menghisap batang rokok dan dengan sengaja meniupkan asapnya ke wajahku. Ia tak pernah kapok meskipun kulit perutnya akan aku cubit setelah ia berbuat demikian. Ya, beginilah kami. Justru ini yang sangat aku rindukan, bercanda dan tertawa bersama adalah hal yang tak pernah kami lewatkan ketika berjumpa. Empat hari ini menebus rasa rindu karena tidak bertemu selama lima bulan lamanya. Tapi penutup perjumpaan ini terasa tak menyenangkan. Ada yang berbeda padanya, ia lebih banyak diam dari biasanya. Ketika leluconku tak membuahkan tawa lepas dari wajahnya, dan tak ada asap rokok mengepul di wajahku. Ah, mungkin dia sedang ada masalah, pikirku.
Di tengah orang-orang yang sibuk hilir mudik kesana kemari, kami duduk di sebuah bangku tepat pada sudut ruangan yang luas dan sesak itu. Terdengar suara laju kereta yang datang dan pergi, namun kereta ku belum juga tiba. Akhirnya kami hanya saling diam dan sesekali terlihat ia mengecek ponselnya.
“Aku ragu” katanya, memulai percakapan.
“Ragu? Kamu ingin menyerah?” tanyaku
Dia hanya diam sambil menyalakan batang rokok selanjutnya.
“Apa harus menyerah? Kalau sayang, harusnya kamu mau berjuang dong,” lanjutku.
“Mungkin disana banyak yang lebih baik dariku,” ucap restu sambil melihat ke arahku.
“Tapi hati itu memilih dan menyamankan diri kita pada pilihannya. Dan jika sudah begitu, tinggal kita memelihara dan setia saja.”
“Praktiknya tidak semudah itu,” tangkasnya.
“Memang, tapi itu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan! Ayolah..”
“Sulit dan mungkin mustahil, buatku.”
Aku hanya diam dan tak bisa berkata apa-apa. Terkadang ia memang begitu menyebalkan dan keras kepala. Aku mengenalnya sejak empat tahun lalu, dan sejak itu aku sudah mulai mencintainya. Semakin jauh jarak, rindu malah bertumpuk dan perasaanku pun kian terlalu.
 “Menurutmu? Apa alasan yang paling mendasar ketika aku ragu akan hubungan ini?”
Kali ini aku menatapnya yang kemudian malah sibuk dengan ponselnya. “Jarak?” tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya, tegak lurus menatap ke depan kemudian tersenyum kecil.
Senyumnya jelas menyiratkan jawaban. Aku pun menarik nafas panjang kemudian sesekali melihat jarum jam yang terus melaju seraya memastikan kereta ku tiba tepat waktu. Aku ingin meyakinkan keputusan yang ia ambil dari segala beban pikiran yang terlihat berkecambuk dalam kepalanya.
“Semua karena demi masa depan dan cita-cita kan? Bertahanlah. Tiga tahun lagi, bukan neraka jika mampu dinikmati dan tidak dijadikan beban. Biarkan semuanya mengalir dan apa adanya. Toh kalau jodoh, tak perlu mati-matian pun takkan ada yang memisahkan. Kamu masih sayang ‘kan? Tolong pikirkan baik-baik,” pintaku dengan suara lirih.
“Ya aku sayang, masih.” Ia meyakinkanku dengan kedua alis yang terangkat.
"Lalu?"
"Kamu tahu bagaimana rasanya setiap kali rindu? hanya suara dan gambar yang bisa aku lihat? ku pikir aku ingin lebih dari itu!" tegasnya.
"Tapi semua rindu akan terbayar ketika bertemu seperti sekarang ini 'kan?"
"Jika waktunya singkat, mungkin tidak." katanya sejurus menarik lenganku.
Ia menggenggam tanganku sambil tangan lainnya membawakan tasku yang beratnya minta ampun. Kami berhenti pada sebuah peron yang dipenuhi mereka yang sedang menanti kereta datang. Ia menjinjit-jinjitkan kakinya, dengan dada membusung dan bola mata yang lincah kesana-kemari. Ia menemukannya.
“Sudah tiba?” tanyaku
“Tunggu disini!” katanya, memerintah.
Terlihat ia berjalan menghampiri seorang gadis tinggi semampai mengenakan celana jeans, kemeja pas badan dengan ikat pinggang kecil melingkar di pinggulnya, dan sepatu cats putih. Gayanya sederhana, dengan rambut yang dibiarkan terurai dan sedikit berantakan justru membuatnya enak dipandang. Restu menggenggam tangannya seraya berjalan ke arahku. Dia Nabilla. Gadis tercantik di SMA kami dulu. Restu dan Nabilla masih mempertahankan hubungan mereka hingga sekarang. Restu di Bandung, dan Nabilla meneruskan kuliah di Yogyakarta, satu kampus denganku.
“Kamu pergi sekarang?” Tanya Restu yang wajahnya kini terlihat  sumringah.
Aku mengangguk. “Baik-baik kamu ya..” sambil menepuk pundak Restu yang tingginya satu jengkal lebih tinggi dariku. “Billa, Restu kangen banget katanya tuh!” tambahku.
Nabilla tersenyum kecil, “kamu tuh ya baru aja aku dateng, udah main pergi aja.”
Restu mengantarku ke dalam kereta dan berbisik, “mungkin memang seharusnya aku bertahan.”
Ada sesak dibalik senyumku menanggapi sepenggal pernyataan Restu itu. Tak ada dusta sedikit pun ketika hatiku berkata aku mencintainya, tapi apapun yang terbaik baginya, apapun yang dapat melukiskan senyum di wajahnya, aku ikhlas. Biar Tuhan dengan kuasanya menggariskan muara takdirku, akan kemana dan bersama siapa. Lambaian tangannya yang ku lihat dari kaca kereta, nampaknya akan membuka lembaran rindu yang baru bagiku.