Perkenalkan, namanya Restu.
Kebiasaannya menghisap batang rokok dan dengan sengaja meniupkan asapnya ke wajahku.
Ia tak pernah kapok meskipun kulit perutnya akan aku cubit setelah ia berbuat
demikian. Ya, beginilah kami. Justru ini yang sangat aku rindukan, bercanda dan
tertawa bersama adalah hal yang tak pernah kami lewatkan ketika berjumpa. Empat
hari ini menebus rasa rindu karena tidak bertemu selama lima bulan lamanya. Tapi
penutup perjumpaan ini terasa tak menyenangkan. Ada yang berbeda padanya, ia
lebih banyak diam dari biasanya. Ketika leluconku tak membuahkan tawa lepas
dari wajahnya, dan tak ada asap rokok mengepul di wajahku. Ah, mungkin dia
sedang ada masalah, pikirku.
Di tengah orang-orang yang sibuk hilir
mudik kesana kemari, kami duduk di sebuah bangku tepat pada sudut ruangan yang
luas dan sesak itu. Terdengar suara laju kereta yang datang dan pergi, namun
kereta ku belum juga tiba. Akhirnya kami hanya saling diam dan sesekali
terlihat ia mengecek ponselnya.
“Aku ragu” katanya, memulai
percakapan.
“Ragu? Kamu ingin menyerah?” tanyaku
Dia hanya diam sambil menyalakan
batang rokok selanjutnya.
“Apa harus menyerah? Kalau sayang, harusnya
kamu mau berjuang dong,” lanjutku.
“Mungkin disana banyak yang lebih
baik dariku,” ucap restu sambil melihat ke arahku.
“Tapi
hati itu memilih dan menyamankan diri kita pada pilihannya. Dan jika sudah
begitu, tinggal kita memelihara dan setia saja.”
“Praktiknya
tidak semudah itu,” tangkasnya.
“Memang,
tapi itu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan! Ayolah..”
“Sulit
dan mungkin mustahil, buatku.”
Aku hanya diam dan tak bisa berkata
apa-apa. Terkadang ia memang begitu menyebalkan dan keras kepala. Aku
mengenalnya sejak empat tahun lalu, dan sejak itu aku sudah mulai mencintainya.
Semakin jauh jarak, rindu malah bertumpuk dan perasaanku pun kian terlalu.
“Menurutmu? Apa alasan yang paling mendasar
ketika aku ragu akan hubungan ini?”
Kali ini aku menatapnya yang kemudian
malah sibuk dengan ponselnya. “Jarak?” tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya, tegak lurus
menatap ke depan kemudian tersenyum kecil.
Senyumnya jelas menyiratkan jawaban.
Aku pun menarik nafas panjang kemudian sesekali melihat jarum jam yang terus
melaju seraya memastikan kereta ku tiba tepat waktu. Aku ingin meyakinkan keputusan
yang ia ambil dari segala beban pikiran yang terlihat berkecambuk dalam
kepalanya.
“Semua karena demi masa depan dan
cita-cita kan? Bertahanlah. Tiga tahun lagi, bukan neraka jika mampu dinikmati
dan tidak dijadikan beban. Biarkan semuanya mengalir dan apa adanya. Toh kalau
jodoh, tak perlu mati-matian pun takkan ada yang memisahkan. Kamu masih sayang ‘kan?
Tolong pikirkan baik-baik,” pintaku dengan suara lirih.
“Ya aku sayang, masih.” Ia meyakinkanku
dengan kedua alis yang terangkat.
"Lalu?"
"Kamu tahu bagaimana rasanya setiap kali rindu? hanya suara dan gambar yang bisa aku lihat? ku pikir aku ingin lebih dari itu!" tegasnya.
"Tapi semua rindu akan terbayar ketika bertemu seperti sekarang ini 'kan?"
"Lalu?"
"Kamu tahu bagaimana rasanya setiap kali rindu? hanya suara dan gambar yang bisa aku lihat? ku pikir aku ingin lebih dari itu!" tegasnya.
"Tapi semua rindu akan terbayar ketika bertemu seperti sekarang ini 'kan?"
"Jika waktunya singkat, mungkin tidak." katanya sejurus menarik lenganku.
Ia menggenggam tanganku sambil tangan lainnya membawakan tasku yang beratnya minta ampun. Kami berhenti pada sebuah peron yang dipenuhi mereka yang sedang menanti kereta datang. Ia menjinjit-jinjitkan kakinya, dengan dada membusung dan bola mata yang lincah kesana-kemari. Ia menemukannya.
Ia menggenggam tanganku sambil tangan lainnya membawakan tasku yang beratnya minta ampun. Kami berhenti pada sebuah peron yang dipenuhi mereka yang sedang menanti kereta datang. Ia menjinjit-jinjitkan kakinya, dengan dada membusung dan bola mata yang lincah kesana-kemari. Ia menemukannya.
“Sudah tiba?” tanyaku
“Tunggu disini!” katanya,
memerintah.
Terlihat ia berjalan menghampiri
seorang gadis tinggi semampai mengenakan celana jeans, kemeja pas badan dengan
ikat pinggang kecil melingkar di pinggulnya, dan sepatu cats putih. Gayanya
sederhana, dengan rambut yang dibiarkan terurai dan sedikit berantakan justru membuatnya
enak dipandang. Restu menggenggam tangannya seraya berjalan ke arahku. Dia Nabilla.
Gadis tercantik di SMA kami dulu. Restu dan Nabilla masih mempertahankan
hubungan mereka hingga sekarang. Restu di Bandung, dan Nabilla meneruskan kuliah
di Yogyakarta, satu kampus denganku.
“Kamu pergi sekarang?” Tanya Restu
yang wajahnya kini terlihat sumringah.
Aku mengangguk. “Baik-baik kamu ya..”
sambil menepuk pundak Restu yang tingginya satu jengkal lebih tinggi dariku. “Billa,
Restu kangen banget katanya tuh!” tambahku.
Nabilla tersenyum kecil, “kamu tuh
ya baru aja aku dateng, udah main pergi aja.”
Restu mengantarku ke dalam kereta
dan berbisik, “mungkin memang seharusnya aku bertahan.”
Ada sesak dibalik senyumku
menanggapi sepenggal pernyataan Restu itu. Tak ada dusta sedikit pun ketika
hatiku berkata aku mencintainya, tapi apapun yang terbaik baginya, apapun yang
dapat melukiskan senyum di wajahnya, aku ikhlas. Biar Tuhan dengan kuasanya
menggariskan muara takdirku, akan kemana dan bersama siapa. Lambaian tangannya
yang ku lihat dari kaca kereta, nampaknya akan membuka lembaran rindu yang baru
bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar