Senin, 20 Mei 2013

UNTITLED



Perkenalkan, namanya Restu. Kebiasaannya menghisap batang rokok dan dengan sengaja meniupkan asapnya ke wajahku. Ia tak pernah kapok meskipun kulit perutnya akan aku cubit setelah ia berbuat demikian. Ya, beginilah kami. Justru ini yang sangat aku rindukan, bercanda dan tertawa bersama adalah hal yang tak pernah kami lewatkan ketika berjumpa. Empat hari ini menebus rasa rindu karena tidak bertemu selama lima bulan lamanya. Tapi penutup perjumpaan ini terasa tak menyenangkan. Ada yang berbeda padanya, ia lebih banyak diam dari biasanya. Ketika leluconku tak membuahkan tawa lepas dari wajahnya, dan tak ada asap rokok mengepul di wajahku. Ah, mungkin dia sedang ada masalah, pikirku.
Di tengah orang-orang yang sibuk hilir mudik kesana kemari, kami duduk di sebuah bangku tepat pada sudut ruangan yang luas dan sesak itu. Terdengar suara laju kereta yang datang dan pergi, namun kereta ku belum juga tiba. Akhirnya kami hanya saling diam dan sesekali terlihat ia mengecek ponselnya.
“Aku ragu” katanya, memulai percakapan.
“Ragu? Kamu ingin menyerah?” tanyaku
Dia hanya diam sambil menyalakan batang rokok selanjutnya.
“Apa harus menyerah? Kalau sayang, harusnya kamu mau berjuang dong,” lanjutku.
“Mungkin disana banyak yang lebih baik dariku,” ucap restu sambil melihat ke arahku.
“Tapi hati itu memilih dan menyamankan diri kita pada pilihannya. Dan jika sudah begitu, tinggal kita memelihara dan setia saja.”
“Praktiknya tidak semudah itu,” tangkasnya.
“Memang, tapi itu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan! Ayolah..”
“Sulit dan mungkin mustahil, buatku.”
Aku hanya diam dan tak bisa berkata apa-apa. Terkadang ia memang begitu menyebalkan dan keras kepala. Aku mengenalnya sejak empat tahun lalu, dan sejak itu aku sudah mulai mencintainya. Semakin jauh jarak, rindu malah bertumpuk dan perasaanku pun kian terlalu.
 “Menurutmu? Apa alasan yang paling mendasar ketika aku ragu akan hubungan ini?”
Kali ini aku menatapnya yang kemudian malah sibuk dengan ponselnya. “Jarak?” tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya, tegak lurus menatap ke depan kemudian tersenyum kecil.
Senyumnya jelas menyiratkan jawaban. Aku pun menarik nafas panjang kemudian sesekali melihat jarum jam yang terus melaju seraya memastikan kereta ku tiba tepat waktu. Aku ingin meyakinkan keputusan yang ia ambil dari segala beban pikiran yang terlihat berkecambuk dalam kepalanya.
“Semua karena demi masa depan dan cita-cita kan? Bertahanlah. Tiga tahun lagi, bukan neraka jika mampu dinikmati dan tidak dijadikan beban. Biarkan semuanya mengalir dan apa adanya. Toh kalau jodoh, tak perlu mati-matian pun takkan ada yang memisahkan. Kamu masih sayang ‘kan? Tolong pikirkan baik-baik,” pintaku dengan suara lirih.
“Ya aku sayang, masih.” Ia meyakinkanku dengan kedua alis yang terangkat.
"Lalu?"
"Kamu tahu bagaimana rasanya setiap kali rindu? hanya suara dan gambar yang bisa aku lihat? ku pikir aku ingin lebih dari itu!" tegasnya.
"Tapi semua rindu akan terbayar ketika bertemu seperti sekarang ini 'kan?"
"Jika waktunya singkat, mungkin tidak." katanya sejurus menarik lenganku.
Ia menggenggam tanganku sambil tangan lainnya membawakan tasku yang beratnya minta ampun. Kami berhenti pada sebuah peron yang dipenuhi mereka yang sedang menanti kereta datang. Ia menjinjit-jinjitkan kakinya, dengan dada membusung dan bola mata yang lincah kesana-kemari. Ia menemukannya.
“Sudah tiba?” tanyaku
“Tunggu disini!” katanya, memerintah.
Terlihat ia berjalan menghampiri seorang gadis tinggi semampai mengenakan celana jeans, kemeja pas badan dengan ikat pinggang kecil melingkar di pinggulnya, dan sepatu cats putih. Gayanya sederhana, dengan rambut yang dibiarkan terurai dan sedikit berantakan justru membuatnya enak dipandang. Restu menggenggam tangannya seraya berjalan ke arahku. Dia Nabilla. Gadis tercantik di SMA kami dulu. Restu dan Nabilla masih mempertahankan hubungan mereka hingga sekarang. Restu di Bandung, dan Nabilla meneruskan kuliah di Yogyakarta, satu kampus denganku.
“Kamu pergi sekarang?” Tanya Restu yang wajahnya kini terlihat  sumringah.
Aku mengangguk. “Baik-baik kamu ya..” sambil menepuk pundak Restu yang tingginya satu jengkal lebih tinggi dariku. “Billa, Restu kangen banget katanya tuh!” tambahku.
Nabilla tersenyum kecil, “kamu tuh ya baru aja aku dateng, udah main pergi aja.”
Restu mengantarku ke dalam kereta dan berbisik, “mungkin memang seharusnya aku bertahan.”
Ada sesak dibalik senyumku menanggapi sepenggal pernyataan Restu itu. Tak ada dusta sedikit pun ketika hatiku berkata aku mencintainya, tapi apapun yang terbaik baginya, apapun yang dapat melukiskan senyum di wajahnya, aku ikhlas. Biar Tuhan dengan kuasanya menggariskan muara takdirku, akan kemana dan bersama siapa. Lambaian tangannya yang ku lihat dari kaca kereta, nampaknya akan membuka lembaran rindu yang baru bagiku.