Senin, 01 Januari 2024

Tangisan Paling Menyakitkan Seumur Hidupku - Part 2

 Akhirnya kafan mama ditutup secara sempurna, dan jasadnya diangkat menuju masjid untuk dishalatkan. "Alhamdulillah hari itu yang sholat banyak, Ma. Teteh sholat pakai mukena mama, tapi setelah itu teteh gak inget mukena mama kemana. Maaf ya, Ma!"

Selesai disolatkan, bergegaslah kami ke pemakaman. Aku ditawari untuk duduk di ambulance bersama jenazah mama, tentu tak akan aku menolak. Ini kali terakhirnya aku satu mobil dengan mama, bukan untuk pergi main sekarang, melainkan mengantar mama ke tempat peristirahatan mama. Demi Allah, sakit sekali rasanya. Menambah daftar traumaku mendengar suara sirine ambulance.

Tiba di pemakaman, aku harus menyaksikan tubuh mama masuk ke liang lahat dan di timbun dengan tanah. Rasanya aku ingin ikut, aku tak mau meninggalkan mama sendirian di dalam sana. Aku diberikan kesempatan untuk mengawali penaburan bunga di atas makam mama, pipiku malah makin basah. Hari ini datang juga! hari yang selalu aku takuti datang juga. Dimana aku harus kehilangan surgaKu.

Langit mulai mendung, angin pun terasa kencang, dan orang-orang silih berganti menyalamiku untuk pamit pulang. Aku tak begitu ingat siapa saja disana. Pikiranku mengambang, tubuhku seakan melayang, tatapanku pun hanya ttertuju pada nisan mama. Sampai akhirnya papa mengajakku pulang, tapi aku tak mau. Aku tak mau meninggalkan mama. Tapi papa bilang kasian mama, kasian apa sih? bukannya lebih kasian kalau mama aku tinggal sendiri disana?.

Setibanya di rumah, aku melihat bekal sarapanku yang belum sempat aku makan. Saat itu jam 4 sore, lemas sekali rasanya tubuhku. Kalau bukan karena telur dadar itu masakan mama yang terakhir untukku, mungkin aku tak akan mau makan hari itu. Biar sakit saja, dan mati perlahan pikirku. Aku makan dengan derai air mata. Belum pernah rasanya makan telur dadar kecap semenyakitkan itu. Sesak dadaku sampai ke ulu hati. Entah kapan setelah ini aku mau makan telur dadar lagi, Ma. 

Kami langsung mempersiapkan tahlil mama yang pertama, bada isya. Aku lihat adik-adik pun tak makan, Ma. Mereka juga begitu kehilangan sosokmu. Mama kok tega? Mama cape banget ya?. Buku Yassin ku pegang tapi fikiranku masih melayang entah kemana. Menyusuri jalan cerita hari ini dimana aku menyesali banyak hal.

Pertama, saat jumat malam dimana aku punya 2 box dimsum dimana isinya masing-masing 4 buah. Dimsum itu tak langsung aku keluarkan. Aku malah mengendong Una dan main-main dengan una. Tapi mama juga ikut duduk di lantai bersamaku dan una. Pas mama lihat bungkusan makananku, aku lihat mama lapar karena mama gak masak, dan langsung memakan dimsum tersebut.

"oh iya lupa aku punya dimsum. Sisain ya! aku juga lapar!"

Kemudian aku lihat mama hanya memakan 3 biji saja. Kenapa gak 4 ma? kita bagi 2 kan harusnya?

"hakaunya anyir teh, kurang enak!" kata mama.

Selesai itu mama terus tidur. Sedangkan aku masih merasa lapar, dan papa akhirnya beli nasi goreng ke depan komplek. Aku putuskan tidur sebentar, nanti kan bangun lagi mau buat kue. Tapi begitu bangun, Papa bilang mau beli 2, tapi ternyata papa cuma beli 1. Aku hanya makan beberapa sendok, karena nasinya sudah dingin dan tidak pedas, tak selera pokoknya. Aku lipat lagi bungkusan nasi gorengnya, simpan diatas meja. Ternyata sebelum tahajud mama lapar juga, dan memakan sisa nasi goreng aku.

"Gak enak, Ma. Gak pedes. Udah dingin lagi!"

"Ga apa-apa ganjel perut sebelum solat."

Eh baru 2 suap, adik aku minta nasi gorengnya. Mama kasiin deh ke adik aku.  

Penyesalan aku adalah; malam itu mama lapar tapi aku tak menawarkan mama membeli makanan yang baru, aku malah sibuk dengan kue ku.

Kedua, jumat malam itu mama bilang mama mau pakai mobil buat ke undangan temen mama dan berangkatnya sama papa. Aku bilang aku mau pergi lembur sambil anter kue. Padahal kuenya jadinya di kirim grab. Harusnya aku kasih aja, dan aku berangkat pakai motor. Kalau mama ke undangan kan mama gak akan pergi sepedaan. Semuanya salah aku ya, Ma?

Ketiga, waktu pagi hari ketika mama bercerita tentang kerudung ivan gunawan itu. Harusnya aku gubris dan aku tanggapi dengan hangat cerita lucunya itu. Bukan malah aku cuek dan asik dengan kue ku.

Ke-empat, saat berangkat kerja harusnya aku pandangi dulu wajah mama pagi itu, aku cium tangannya sebelum berangkat. Bukan malah terburu-buru takut terlambat.

"Ma, maafkan perlakuan teteh yang kurang berkenan di hari itu. Bahkan untuk ribuan hari yang pernah kita lewati bersama, aku minta maaf atas segala dosa, perkataan dan perlakuanku yang nyakitin mama."

Hari itu rasanya betul-betul seperti disambar petir di siang bolong. Kaget, tadi mama gak apa-apa kok. Mama sehat kok. Kenapa cuma seling 1 jam semuanya berubah?

Kenapa mama gak ngasih aba-aba?

Kenapa mama gak ngasih pertanda dulu ke teteh?

Kenapa mama pergi saat kami keluarganya tak disampingnya?

Hari itu, semesta menyakitiku dengan cara yang sempurna. Bahkan melihat nafas mama yang terakhir pun aku tak di takdirkan. Jahat sekali!

Jadi, ternyata saat kau berangkat, mama pun berangkat sepedaan berdua dengan temannya yang masih tetangga komplek dan memang biasa sepedaan bareng. Belum jauh, baru menyebrang dari gerbang komplek mama berhenti dan turun dari sepeda. Mama bilang mama pusing. Tapi mama sempet berdiri standarin sepeda, dan bergaya minta foto. Katanya belum sempat foto, mama tiba-tiba jatuh dan gak sadarkan diri. Temen mama itu panik dan langsung minta tolong diangkat ke tempat jualan kelapa muda dekat situ. Setelah itu langsung ke rumah susul papa, karena papa ditelfon gak angkat terus. Sesampainya papa disana, tangan mama udah dingin kata papa. Badan mama sudah dingin, tapi pas papa pegang leher mama masih hangat. Gak lama mama langsung tersenyum.

"eh, seuri gening! hayu urang candak ka rumah sakit!"

Tapi qodorullah, jalanan hari itu maceeeett sekali. Papa bawa mama naik angkot, sambil sesekali dimarahi pengemudi lain karena serobot lawan arah. Di perjalanan papa lihat nafas mama udah gak ada, tapi papa masih berharap mama cuma pingsan. Sampai akhirnya tiba di IGD puskesmas magung, dokter nyatakan mama memang udah gak ada.

Itu singkat sekali, Ma. Kenapa mama gak nunggu teteh dulu? teteh mungkin bisa minta maaf dulu sama mama. Mungkin rasa sakitnya sedikit lebih berkurang dari ini, Ya! walaupun akan tetap sakit. Sampai saat ini, penyesalan terus bergelayut di pelupuk mata, Ma. Ada berjuta kata 'Mengapa' dan berjuta pula kata 'Seandainya'.

Allah sayang mama. Terlalu banyak beban yang mama pikul sendiri, mama pendam sendiri. Ternyata mimpi gigi copot 3 minggu yang lalu itu jadi nyata. Ma, belum ada jawaban istikharoh mama, mama udah pergi aja. kepala mamah sakit banget ya, Ma? Dada mama sesak sama permasalahan anak-anak mama ya, Ma? Terlebih puncaknya saat kasus Ryan ya Ma? Pengen rasanya aku benci sama Ryan. Ryan yang bikin mama sakit belakangan ini, Ma. Tapi mungkin nanti mama lebih sedih di alam sana lihat anak-anak mama saling menyalahkan.

Teteh cuma berharap, mama bahagia disana. Diampuni segala dosa mama, diterima segala amal mama. Diterima sholat taubat mama. Allah lapangkan kubur mama, terangkan kubur mama, semoga mama mendapatkan kebaikan dan alam kubur mama menjadi tempat istirahat yang nikmat bagi mama setelah lelahnya dunia. Semoga teteh bisa jadi anak yang shalehah, supaya doa-doa teteh bisa sampai dan terus mengalir ke mama.

Semoga teteh kuat tanpa mama. Semoga teteh bisa jaga papa, adit dan ryan. Semoga teteh bisa bahagiain papa. Mama yang tenang ya, Ma! maaf kalau teteh masih cengeng. Maaf kalau teteh masih suka manggil-manggil mama. Teteh pasti kangen Mama karena partner teteh dalam segala hal udah gak ada Ma! teteh sendiri sekarang. Teteh sayang mama! semoga kita kelak bertemu lagi di Jannah-Nya. Aamiin.


Minggu, 31 Desember 2023

Tangisan Paling Menyakitkan Seumur Hidupku - Part 1

 Sabtu, 23 Desember 2023 dini hari sekitar pukul 01.00 aku bangun untuk membuat kue ulang tahun yang kebetulan dipesan oleh dosenku di universitas dulu. Kue bertema Mario Bross yang beberapa hiasannya sudah aku cicil  sehari sebelumnya. Terdengar sura mengaji mama, Ya! sudah hampir sebulan ini mama rutin solat taubat, tahajud dan mengaji mulai jam 1 pagi, Alhamdulillah. Sekitar jam 3 pagi mama sudah selesai solat, dan seketika itu juga aku langsung meminta mama menunggu kue ku sebentar yang sedang di oven karena aku baru ingat kalau aku belum solat isya. Mama menunggu kue ku sembari duduk di ruang tamu seraya memegangi handphonenya. Selesai aku solat, mama bilang "Aahh teteh udah beres, mamah mau bobo yaa!". Aku pun mengiyakan, mama memang sering tidur dulu sebentar sembari menunggu subuh. Gantian lah papa yang bangun, karena aku yang minta bantu papa untuk uleni dan warnai fondant sebanyak 3 Kg itu. Berat rasanya tanganku mau copot, hehe.. Tapi kemudian ada masalah setelahnya, fondantnya melorot saat diaplikasikan ke kue, fondantnya retak dan bergelombang, kuenya pun jadi miring. Kesal dan ingin menangis rasanya. Entah mengapa, tidak seperti biasanya. Padahal itu fondant yang biasa aku pakai, bukan sekali dua kali tapi sudah sering. Sampai berjam-jam hanya untuk memperbaiki cover fondantnya, yang akhirnya aku pakaikan double covernya agar rapi.

Sekitar pukul 5.30 pagi aku baru selesai mengcover cakenya, tinggal menghias saja meskipun sedih melihat kuenya tidak serapi biasanya. Ya bagaimana lagi, mengulang dari awal sudah tidak akan mungkin. Mama pun bangun lagi, dan berkata "Teh, muka mamah basah dijilatin Una (Kucing hitam kami)". Aku mendengar tapi aku tidak menggubris karena aku fokus pada kue, antara kesal dan mengejar waktu yang hanya 1 jam lagi. Maaf yaa, Ma.

Sudah jam 6.30, Aku dengar mama memasak telur untuk sarapan. Mama lapar katanya, mau pergi gowes (sepedaan). Mama lanjut sarapan dan bercerita tentang demo masak di komplek kemarin, yang katanya akan dapat hadiah pashmina Ivan Gunawan, tapi ternyata kerudungnya abal-abal, jelek banget bukan ivan gunawan. Haha. Tapi lagi-lagi aku cuek, karena aku semakin dikejar waktu. Oh ya, sehari sebelumnya, Jumat pagi aku memberi mama kerudung Ivan Gunawan yang Humanity Series sebagai hadiah Hari ibu. Sampai mama jadikan status itu kerudung pemberianku, Alhamdulillah kalau mama senang.

Akhirnya kue selesai di jam 7 lebih, aku langsung bergegas order grab untuk antar kuenya karena tidak memungkinkan untuk aku antar sendiri, yaa secara belum mandi kaann makan waktu lagi dong sedangkan kuenya harus sampai di jam 8 pagi. Nah disitu aku udah di puncaknya kesal, karena mamang Grabnya lamaaaaa banget. Aku jadi marah-marah ga jelas. Minta bantu papa untuk pack kuenya, tapi papa lama dan banyak una inu. Aku disitu kesal dan berkali-kali bicara dengan nada kesal pada papa. Biasanya mama akan menegurku, tapi disitu mama hanya memerhatikan tidak bicara sepatah kata pun. Mama sama papa malah foto-foto kuenya dulu, bukannya langsung di masukin box, makin kesal aku karena mang grabnya udh sampai kuenya masih diotak-atik Huhuhu.

Nah selesai kue di pick up jam 7.30, aku mandi dan minta tolong mama bantu setrika bajuku untuk pergi lembur kerja. Mama setrikanya di kamarku, dan hari itu aku cari baju biru susahnya minta ampun secara numpuk banget baju yang belum distrika. Akhirnya dipilih lah yang gampang diambil itu baju warna hitam, kerudungnya aja yang biru. Selesai mandi, di dapur mama bilang "Teh, sarapannya telor dadar aja ya!", "Okeee..!" Jawabku.

Selesai siap-siap, aku berangkat jam 8 pagi.

"Mah, mana tadi sarapan aku?"

"Itu di meja depan!" kata mama seraya menunjuk goodie Bag bekas starbuck yang berisi bekal sarpaan aku.

Aku pun bergegas masuk ke mobil dengan buru-buru takut telat. Yang menghampiri aku hanya papa, sedangkan mama sudah menuntun sepedanya. terdengar mama bertanya ke papah "Pah, kaya yang kempes bannya!"

"Engga, ngga kempes!" Jawab Papa.

Aku pun tancap gas langsung berangkat, tanpa cium tangan mama karena seburu-buru itu.

Belum sampai ke kantor, Papa kok menelfon terus. Tapi dering teleponnya aku abaikan karena aku sedang di jalan, akan aku telfon balik saat aku tiba di kantor pikirku. Apa ada yang tertinggal atau apa aku tak tahu. Sampai akhirnya aku tiba di kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pikirku karena aku nyaris kesiangan kali yaa.

Baru saja mau mulai doa pagi, mamang grab menelfon "Bu, rumahnya yang mana ya?"
"Hah? bapa abru sampai daritadi?"
"iya bu jalanan macet!" gitu katanya.
kesalnya aku, karena aku saja yang berangkat jam 8 sudah tiba dikantor. Ini dari setengah 8 baru sampai 9 lebih 15? Gak habis pikir.

Selesai ku tutup telepon mamang grab, masuk lah telepon dari papa.

"Teh, pulang sekarang ya! Mamah masuk rumah sakit!"

"Sakit apa? tadi gak apa-apa ah!"

"Ya pokonya pulang aja sekarang ya!"

Disitu pikiran aku sudah semakin kalut, aku izin dulu untuk pulang. Langsung aku ambil tas seraya berlari menuju tempat parkir. Pikiran udah kemana-mana sepanjang jalan. Aku telfon adik ku karena tadi papa rasanya gak jelas, bikin panik.

"Dit, dimana?"

"di IGD teh mamah sakit."

"Sakit apa? sadar gak mamanya?"

"Iya, tadi mah sadar!" jawab adikku sambil terdengar terisak.

"Mana fotoin mamahnya"

"Iya nanti da ini mau pulang"

"Kenapa pulang? emang udah ga apa-apa mamahnya? hayu bawa ke alihsan aja yuk sama teteh!"

"Gausah da ini udah boleh dibawa pulang! teteh pulang aja ke rumah" jawabnya sambil menutup teleponku.

Bisa bayangkan bagaimana perasaanku saat itu? di pikiranku sudah terlintas kemungkinan terburuk bahwa mama sudah tidak ada lagi di dunia ini.

tangisku pecah, "Ya Allah jangan mama Ya Allah! Aku saja! Aku mau jual mobil ini buat mama sama papa umroh. Tolong jangan mama, Ya Allah!"

Lemas sekali badanku, nafas rasanya sesak dan sakit ke ulu hati. Ada dingin yang menyelinap ke dalam tubuh, padahal cuaca hari itu sangat panas. Jalanan hari itu sangat macet. Tak aku temukan jalanan kosong sedari kantor hingga ke rumah. Seperti semesta tahu, jika jalanan kosong aku akan memacu mobilku dengan kecepatan tinggi tanpa aku pedulikan keselamatanku. Bahkan aku berpikir untuk menabrakan diriku saat itu, tapi karena jalanan macet "Ah nabrak di jalanan sepadet ini mah gak akan mati!". Astagfirullah.

Aku memaki Allah, aku meratapi nasibku yang entak bagaimana jika tak ada mama. "Bukankah sudah ku mohon berkali-kali Ya Allah. Jangan ambil orangtua ku sebelum aku! biar aku dulu yang mati!"

Aku melirik ke jok sebelah, ada tas starbuck berisi sarapanku tadi. Tangisku makin mengguncah. Aku keluarkan tempat makannya dan aku ambil foto nasi beserta telur dadar kecap itu. Demi Allah menyakitkan sekali rasanya. Membayangkan nasi itu baru saja mama buat, belum sempat aku memakannya, masa mama udah gak ada lagi aja?!.

Setibanya di rumah, aku lihat di depan rumahku sudah terpasang tenda berwana hijau untuk memandikan jenazah. Disitu aku berkata, "Ya Allah, kamu jahat sekali!"

Pas membuka pintu, ada ibu RT berkata "neng, yang sabar ya neng!"

Kalimat itu seolah menjawab semua terkaanku bahwa mama sudah meninggalkan aku untuk selamanya. Badanku benar-benar lemas, tak mampu berdiri, dan aku rasakan tubuhku jatuh dan dibopong orang-orang masuk ke kamar. Aku menangis meraung-raung seperti anak yang sedang tantrum.

"Teh, yuk kuat yuk! Lihat dulu mama untuk yang terakhir kali!"

Disitu kain yang menutupi tubuh mama disingkap sedikit bagian wajahnya.

Aku merangkak menuju mama. Aku pandangi wajahnya yang terlihat tersenyum, tapi sudah sangat pucat. Ku pegang tangannya yang masih lentur tapi sudah sangat dingin. Aku menangis sejadi-jadinya, aku dekap tangannya seolah tak ingin aku lepaskan sedikit pun.

"Aku tidak ikhlas Ya Rabb!" teriakku dalam hati.

Tapi tangan-tangan itu memisahkan tanganku dari mama. Aku dijauhkan kembali dari mama. Jasad Alamrhumah diangkat untuk dimandikan, dan aku pun diajak untuk memandikannya. Ku Pegang wajahnya perlahan, dingin sekaliii. Aku bilas rambutnya, terlihat uban-ubannya tersingkap saat diguyur air perlahan. Demi Allah, sakiitt sekali hatiku saat itu, Ya Rabb! Melihat tubuh mama sudah terbujur kaku, tak dapat bergerak sedikitpun.

Selesai dimandikan, lanjut dikafani di tengah rumah. Kami keluarganya diberi kesempatan untuk mencium kening mama untuk yang terakhir.

"Cium mama untuk yang terakhir kali ya! tapi jangan sampai air matanya menetes, kasian mama sudah dimandikan!"

Aku lihat papa, dan adik-adik aku mencium mama. Saat tiba giliranku, aku tak sanggup. Air mata yang keluar terlalu deras, tak bisa sedikitpun aku tahan. Hingga akhirnya aku tidak mencium mama setelah dimandikan itu. "Maafin teteh gak sanggup cium kening mama untuk yang terakhir, Ma!"